A.
Pengertian Monogami dan Poligami
Asas
perkawinan dalam Islam pada dasarnya adalah monogami. Monos berarti satu dan
gamos berarti perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan dimana hanya
mengawini satu istri saja.
Kata
poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti
banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila digabungkan berarti suatu
perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Menurut bahasa Indonesia,
poligami adalah suatu sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan.
B.
Monogami dan Poligami Menurut
Perundang-Undangan
Berdasarkan
UU No. 1/1974 tentang perkawinan, maka Hukum Perkawinan di Indonesia menganut
asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU No.
1/1974). Hanya apabila dikendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama
dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
satu orang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
istri, meskipun diizinkan oleh pihak-pihak bersangkutan, hanya dapat dilakukan,
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Masalah
poligami dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
1. Beristri lebih dari satu orang
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang
disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari
seorang.
Selanjutnya pada pasal 56
disebutkan :
- Suami yang beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
- Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pada pasal 57 disebutkan
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri
lebih dari seorang apabila :
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajban sebagai istri.
2.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3.
Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
C.
Pandangan dan Tinjauan Hukum Islam
Apabila
diamati secara seksama, asas perkawinan dalam hukum Islam sebenarnya adalah
monogami, ketentuan ini terdapat dalam al-Quran surat Annisa ayat 3:
"dan jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya"
Ayat diatas memberi petunjuk,
bahwa kawin dengan seorang wanita, itulah yang paling dekat kepada kebenaran,
sehingga terhindar dari berbuat aniaya. Kemudian diperingatkan bahwa orang yang
beristri lebih dari satu, dapat mendekatkan seseorang kepada perbuatan sewenang-wenang,
aniaya atau melakukan kecurangan-kecurangan, berkata dusta dan perbuatan
tercela lainnya.
Islam memandang poligami lebih
banyak membawa resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut
fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.
Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi
sumber konflik dalam kehidupan keluarga. Poligami dalam pandangan Islam
merupakan pintu darurat yang hanya sewaktu-waktu saja dapat dipergunakan,
misalnya apabila istri mandul. Dalam hal ini poligami dalam Islam dibatasi
dengan syarat-syarat tertentu seperti :
- Jumlah istri maksimal empat orang, seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, suami dapat mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang bersamaan.
- Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah lahiriah dan batiniah.[3]
D.
Proses Perceraian di Pengadilan
Agama
1. Talak yang Diikrarkan Suami
Seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan
menceraikan istrinya, mengajukan surat permohonan kepada pengadilan di tempat
tinggalnya yang beirisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk itu. Selanjutnya Pengadilan Agama mempelajari isi surat yang dimaksud
pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil
pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan.
Pengadilan
Agama yang telah medapatkan penjelasan akan maksud talak itu kemudian berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dan meminta bantuan kepada Badan Penasihat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Pengadilan Agama setelah
memperhatikan hasil usaha BP4 bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan berpendapat adanya alasan untuk talak, maka diadakan sidang
untuk menyaksikan talak dimaksud. Suami mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pengadilan Agama dengan hadirnya istri serta alasannya dan menadatangani surat
ikrar tersebut. Setelah itu ketua Pengadilan Agama membuat suatu keterangan tentang
terjadinya talak SKT 3 rangkap 4, helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah di daerah tempat tinggal suami untuk
diadakan pencatatan, helai 2 dan 3 untuk suami dan istri sedangkan helai 4
disimpan Pengadilan Agama. Selanjutnya surat keterangan tersebut dilaporkan ke
pegawai pencatat nikah di daerah tempat hukum tempat tinggal suami untuk
mendapatkan kutipan buku pendaftaran talak atau KBPTR. Apabila talak terjadi
maka kutipan akta nikah (KAN) masing-masing ditahan oleh Pengadilan Agama di
tempat talak itu terjadi.
2. Gugatan Perceraian dari Istri
Perceraian
yang diajukan atas gugatan istri, maka Pengadilan Agama akan berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak atas bantuan BP4. Bila terjadi perdamaian, maka
tidak dapat diajukan lagi gugatan perceraian yang baru berdasarkan
alasan-alasan yang sama oleh istri (pasal 30 PMA Nomor 3 Tahun 1975). Tata cara
perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan sebagaimana pasal 28 PMA
Nomor 3 Tahun 1975. Suatu pereceraian dianggap terjadi beserta akibatnya
terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Panitera Pengadilan Agama segera setelah perceraian itu
diputukan menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau
kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing suami istri yang
bersangkutan. Selambat-lambatnya 7 hari setelah perceraian diputuskan,
Pengadilan Agama menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap itu kepada pengadilan negeri untuk dikukuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Masjuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah (Jakarta, PT Midas Surya Grafindo, 1993) hlm. 10
M. Ali Hasan, Masail Fiqyah al-Haditsah (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm. 18
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada, 2003)
Muhamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta,Bumi
Aksara, 1996) hlm 200
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: POLIGAMI DAN PERCERAIAN
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai POLIGAMI DAN PERCERAIAN bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: POLIGAMI DAN PERCERAIAN
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai POLIGAMI DAN PERCERAIAN bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
No comments:
Post a Comment