A. Tafsir
Ahmad Musthafa al-Maraghidalam tafsirnya menjelaskan kata
adil yang terdapat pada ayat tersebut adalah االمسوب
في كل شيئ جلا زيادة ولا نقص فيه sedangkan yang dimaksud adil dalam ayat
tersebut adalah المكافعة فى الخير والشر memenuhi
yang baik dan yang buruk. Sedangkan kata ihsan lebih tinggi daripada kata
al-khoir adapun kata ايتاء ذى القربى berarti memberikan hak kaum kerabat dengan
cara bersilaturahmi dan berbuat baik. Kata الفخشاء. berarti sesuatu berupa ucapan dan
perbuatan yang dinilai buruk, seperti berbuat zina, meminum khamar, terlalu
berlebih-lebihan dalam mendapatkan harta dan mencuri, serta perbuatan tercela
lainnya; sedangkan kata al-munkar sesuatu yang timbul karena desakan amarah
yang kuat seperti memukul dengan bengis, membunuh dan mengganggu manusia
lainnya. Adapun kata البغى berarti merasa lebih tinggi dari orang lain dan memaksa orang
lain dengan cara memasuki dan berbuat zalim dan kata al-madz berarti
mengingatkan orang lain agar berbuat baik dengan memberi nasihat dan petunjuk.
Kesimpulannya: ayat tersebut bahwa Allah menyuruh manusia agar berbuat adil,
yaitu menunaikan kadar kewajiban berbuat baik dan terbaik dengan meningkatkan
kepatuhan dan menjunjung tinggi perintah Tuhan, berbuat kasih sayang pada
ciptaan-Nya dengan bersilaturahmi pada mereka.
B.
Kandungan Ayat
بِالْعَدْلِ maksudnya, tauhid atau inshaf.
Ibnu Abbas menafsirkannya dengan tauhid, yaitu mengucap dua kalimah syahadah ( ( اشهد
أن لآإله إلا الله وأن محمدا رسول الله.
Inshaf
(sederhana) dalam seluruh aspek: Inshaf dalam bidang tauhid adalah beri’tikad
bahwa Allah bersifat dengan sifat kesempurnaan, bersih dari segala kekurangan.
Dalam bidang i‘tikad ialah menisbahkan segala perbuatan kepada Allah dan
menisbahkan usaha kepada manusia, hal ini berbeda dengan faham Jabbariyah dan
Mu’tazilah. Menurut faham Jabbariyah, manusia tiada usaha (perbuatan)
samasekali dan menurut akidah mereka manusia ibarat sehelai benang yang
digantungkan di dalam angin, dihembus kemana saja sesuai dengan gerak angin,
dan manusia tidak memiliki perbuatan samasekali. Jika Allah mengazab manusia
berarti Allah telah melakukan aniaya (berbuat zalim). Kelompok ini termasuk dalam
kelompok kafir. Adapun kelompok Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa manusialah
yang menciptakan sendiri perbuatannya (usahanya). Mereka ini termasuk ke dalam
golongan fasik. Padahal inshaf itu ialah menisbahkan seluruh perbuatan
milik Allah, baik atau jahatnya, zahir dan bathinnya. Sedangkan menurut faham
ahlussunnah wal jama’ah, semua perbuatan milik Allah dan manusia hanya berusaha
saja. Inshaf dalam bidang ibadah ialah tidak terlalu banyak dan tidak
terlalu berkurang, tapi sederhana saja. Dan Inshaf dalam bidang nafkah
ialah tidak boros dan tidak kikir.
وَاْلاِحْسَانِ maksudnya,
menunaikan segala yang fardhu (wajib) atau bahwa engkau beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, sebagaimana tersebut dalam hadits: Jibril AS
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Ihsan, maka Rasulullah SAW menjawab:
“Ihsan itu ialah bahwa engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya. Maka jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia pasti
melihatmu”. Artinya, engkau beribadah kepada Allah karena memperhatikan
kebesaran-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya dengan mata kepalamu. Ini disebut
dengan maqam (level) musyaahadah (kesaksian). Maka jika tak
sampai ke level ini, perhatikan dan yakinkanlah bahwa Ia pasti melihatmu dan
engkau selalu di sisi-Nya. Ini disebut dengan maqam muraqabah (intip).
Perbandingannya, maqam musyaahadah bagaikan orang yang bisa melihat
dengan mata kepalanya yang normal dan sehat, ia duduk-duduk di depan raja
dan saling melihat dan memperhatikan. Dan maqam muraqabah bagaikan orang
buta yang duduk-duduk di depan raja, ia tidak bisa melihat raja tapi raja bisa
melihatnya dengan jelas.
Berbuat
baik (وَاْلاِحْسَانِ), yakni kepada
Allah dan kepada para hamba-Nya. Berbuat baik kepada Allah adalah dengan cara
menunaikan segala yang difardhukan secara sempurna. Dan berbuat baik kepada
para hamba-Nya ialah dengan memaafkan segala kesalahan yang mereka lakukan,
memberikan bantuan kepada mereka yang telah menghambat kita, dan menyambung
hubungan dengan orang yang telah memutuskan hubungannya dengan kita.
وَاِيْتَآئِ ذِى الْقُرْبَى maksudnya, memberikan sedekah
kepada kaum kerabat. Ini lebih diutamakan daripada bersedekah kepada orang lain
karena sedekah kepada kaum kerabat merupakan sarana untuk mempererat hubungan
persaudaraan. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya taat yang paling cepat
memperoleh balasan (fahala) ialah mempererat hubungan persaudaraan
(silaturrahmi)” (Al-Hadits). Makanya, kaum kerabat disebutkan secara
khusus dalam ayat ini karena penting penyebutannya, sebagaimana uraian di atas.
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ (dan Allah melarang dari
perbuatan keji) maksudnya, zina.
وَاْلمُنْكَرِ maksudnya, kufur dan maksiat-maksiat
lainnya, termasuk zina yang telah disebutkan secara khusus di atas. Penyebutan
lafal ini berpengertian umum setelah disebut lafal yang berpengertian
khusus sebelumnya. Maksudnya, segala macam bentuk maksiat dilarang oleh
Allah SWT.
وَالْبَغْيِ maksudnya,
melakukan penganiayaan terhadap manusia. Disebutkan secara khusus sebagaimana penyebutan
pada pelarangan zina (الْفَحْشَآءِ) karena
penting. Pentingnya, yaitu karena tindakan penganiayaan terhadap manusia
merupakan maksiat yang paling besar setelah kufur. Oleh karena itu, sebahagian
ulama berkata: “Siksaan (azab) yang paling cepat diterima seseorang akibat
berbuat maksiat ialah siksaan (azab) akibat melakukan tindakan penganiayaan
terhadap manusia”. Dalam satu riwayat Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya
salah satu dari dua gunung melakukan penganiayaan terhadap lainnya, maka sungguh
Allah akan menghancurkan gunung tersebut akibat penganiayaan yang dilakukan
kepada gunung lainnya” (Al-Hadits). Dalam riwayat yang lain beliau
bersabda: “Orang yang melakukan penganiayaan dan para pembantunya adalah
anjing-anjing neraka” (Al-Hadits).
يَعِظُكُمْ maksudnya, dapat memberi pengajaran
kepada manusia dengan perintah dan larangan.
لَعَلَّكُمْ تذَكَّرُوْنَ maksudnya,
mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Dalam kitab Mustadrak dari
Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Ayat ini merupakan ayat yang paling lengkap dalam
Al-Qur`an yang menjelaskan tentang kebaikan dan kejahatan”. Menurut sebuah
riwayat, Rasulullah SAW membaca ayat ini kepada Al-Walid bin Mughirah, ia
berkata: “Ulangi sekali lagi ayat tersebut wahai Muhammad”. Maka Rasul
mengulangi lagi ayat tersebut, lalu Al-Walid langsung berkomentar: “Ayat itu
sangat sedap dan indah, sangat tinggi mengandung faedah dan sangat rendah
mengandung hal-hal yang banyak, itu bukanlah ucapan manusia, keadaan ayat
itu lebih sempurna dan lengkap yang dipakai oleh para khatib dalam khutbahnya”.
وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ اِذَا
عَاهَدْتُّمْ maksudnya, dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dengan cara berjanji
setia (bai’at), sumpah-sumpah dan lain-lain, seperti janji-janji. Maksudnya
ialah segala sesuatu yang mesti ditunaikan oleh manusia, baik itu yang
diwajibkan oleh Allah Swt maupun kewajiban yang dibebankan oleh seseorang
terhadapnya, seperti ikatan janji dengan seorang guru yang memerintahkan
muridnya untuk mengerjakan sesuatu. Maka, si murid wajib taat kepadanya selama
yang diperintahkan itu masih dalam koridor syara’ dan tidak bertentangan antara
perintah guru dengan perintah Allah. Dan juga guru berakhlak mulia dan
perbuatannya benar. Jadi, apa yang diperintahkan guru wajib ditaati karena
Allah Swt memerintahkan manusia untuk taat kepada guru. Dengan taat kepada
guru, berarti taat kepada Allah Swt.
Maksud dengan janji setia (bai’at) ialah janji
setia atas segala perintah syara’ (Allah dan Rasul-Nya) untuk mentaatinya. Janji
ini diucapkan oleh semua manusia semenjak di alam sulbi Nabi Adam AS setelah
dikeluarkan semua benih manusia di hadapan Allah Swt. Hal ini seperti yang
termaktub d dalam QS. Al-A’raf : 172. Kemudian untuk mengingatkan kembali
akan janji yang telah terucap tersebut, Allah Swt mengutuskan Rasul-rasul-Nya.
Maksud dengan sumpah ialah segala janji yang diucapkan
manusia dengan memakai nama-nama Allah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya
(sifat dua puluh), seperti demi Allah, demi Rahman, demi Wujud, demi Wahdaniyah
dan lain-lain. Maka, janganlah dilanggar sumpah itu selama ada unsur
kemaslahatan padanya. Tapi jika tidak ada kemaslahatan padanya, bahkan
kemaslahatan ada pada sebaliknya, maka melanggar lebih baik. Hal ini
berdasarkan Sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang bersumpah,
lalu ia melihat sebaliknya yang lebih baik, maka hendaklah ia mengambil
kebaikannya (dengan melanggar sumpah) dan membayar kafarahnya".
وَلاَ تَنْقُضُوا اْلاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا maksudnya, dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya.
وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً maksudnya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpah itu
dengan memakai nama Allah atau sifat-Nya ketika bersumpah.
اِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا
تَفْعَلُوْنَ maksudnya, sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Ini sebagai peringatan keras kepada
manusia supaya tidak membatalkan sumpah dan janji setia mereka.
C. Hikmah
Ayat
Ketika itu, Rasulullah SAW apabila menerima seseorang memeluk agama Islam
langsung dibai’at (diadakan janji setia). Sehubungan dengan itu, maka
Allah SWT menurunkan ayat ke-91 dan 92 sebagai ketegasan bahwa bagi mereka yang
sudah berbai’at dengan Rasulullah SAW jangan sekali-kali mengingkari bai’at
itu. Jangan seperti wanita yang merajut pintalan benang dengan kokoh kemudian
merusaknya kembali. Sungguh perbuatan sia-sia. Ini gambaran bagi orang yang
sudah bai’at kemudian kembali ke kufuran.
Ayat ke-91 diturunkan untuk memberi perintah agar kaum
muslimin berbai’at kepada Rasulullah SAW. Yakni berjanji setia untuk
mempertahankan panji-panji Islam dan memeluk Islam dengan penuh
konsekuen.
Sa’idah
al-As’adiyah, seorang majnun (gila) yang pekerjaannya hanya menggelung
dan mengurai rambut terus-menerus, tidak bosan melakukan bongkar pasang.
Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat ke-92 sebagai perumpamaan bagi
orang-orang yang telah mengikat perjanjian kemudian mengingkarinya. Mereka tak
lebih adalah orang majnun yang menggelung rambut kemudian mengurainya
kembali. Tak lebih seperti Sa’idah al-As’adiyah.
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: Tafsir QS. An Nahl : 90 – 91
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Tafsir QS. An Nahl : 90 – 91 bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: Tafsir QS. An Nahl : 90 – 91
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Tafsir QS. An Nahl : 90 – 91 bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
makasii ya mba :-)
ReplyDeleteKurang lengkap kak
ReplyDelete