A. Biografi
K.H Ahmad Dahlan
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta
pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua
orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar
Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Dalam
silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran
dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah:
Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla
bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru
Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad
Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim.
Sejak
kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya
dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab
agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH.
Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R.
Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar
qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri.
Setelah
menimba ilmu pada sejumlah guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke
tanah suci pada tahun 1883 M saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di
sana, Darqis menuntut ilmu agama dan bahasa Arab. Di sinilah ia berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaru dunia Islam, seperti; Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab, Syaikh Jamalaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad
Darwisy begitu terobsesi pada pemikiran pembaruan tokoh-tokoh ini. Pemikiran
untuk mengembalikan umat Islam kepada sumber utamanya, yakni Al-Qur`an dan
Sunnah. Selain itu, Darwisy juga sangat anti taklid, bid’ah, khurafat, dan
takhayul, yang saat itu sangat merajalela di Tanah Air. Gerakan dan
pemikirannya inilah yang kemudian membuat orang menganggapnya sebagai seorang
pembaru dan modernis.
Tahun
1888 M, pada usianya yang ke-20 tahun, Muhammad Darwisy kembali ke kampung
halaman dan –tanpa sebab yang jelas dia– mengganti namanya menjadi Ahmad
Dahlan. Dia diangkat menjadi khatib di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ketika
itu, pada usia yang masih muda, ia membuat heboh masyarakat dengan membuat
tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan
untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurutnya, letak masjid
yang tepat menghadap barat adalah keliru, sebab letak kota Makkah berada di
sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana,
Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di Masjid Agung itu tidak tepat, dan
oleh karena itu harus dibetulkan. Namun
tak lama setelah itu, penghulu kepala (HM. Kholil Kamaludiningrat) yang
bertugas menjaga Masjid Agung menyuruh orang untuk membersihkan lantai masjid
dan menghapus tanda shaf yang dibuat oleh Ahmad Dahlan.
Pada
tahun 1902 M, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dan selesai haji,
Ahmad Dahlan tidak langsung pulang. Ia memperdalam kembali ilmu agamanya kepada
sejumlah ulama di Makkah dan beberapa ulama asal Indonesia yang bermukin di
sana, seperti; Syaikh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kyai Nawawi Al-Bantani,
Kyai Mas Abdullah, dan Kyai Fakih Kembang.
Pada
kepergiannya yang kedua kali ke Makkah ini, Dahlan memperdalam bacaan dan
analisanya terhadap kitab-kitab klasik karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Selain tentu saja berinteraksi kembali secara lebih
intens dengan pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Muhammad
Abduh, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Wawasan Dahlan tentang universalitas
Islam pun semakin terbuka dan pemikirannya mulai kritis. Ahmad Dahlan kembali
ke Indonesia pada tahun 1904 M.
Ide
pembaruan yang sedang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya,
apalagi jika melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sangat stagnan. Untuk
itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa
perlu merealisasikan ide-ide pembaruannya. Dan, pada tanggal 18 November 1912 M
atau bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, bersama dengan teman-teman
seperjuangannya; Haji Sujak, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji
syarkawi, dan Haji Abdul Gani; KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di
atas adalah salah satu faktor yang banyak diungkap di beragai literatur tentang
sejarah berdirinya Muhammadiyah. Padahal sesungguhnya, ada faktor lain yang tak
kalah penting, yaitu keinginan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan untuk menciptakan
masyarakat yang damai adil makmur dan sejahtera berdasarkan Al-Qur`an dan
Sunnah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ahmad Dahlan ingin mewujudkan
masyarakat yang bernafaskan keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-rotong,
dan saling menolong.
Di
samping kesibukannya mengajar dan berorganisasi, Ahmad Dahlan mesti menghidupi
keluarganya. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai
khatib di lingkungan Kraton Yogyakarta dan mengajar di berbagai sekolah milik
pemerintah, Ahmad Dahlan juga berdagang kain. Dia sering bepergian dan
mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang lain, termasuk dengan sejumlah
pedagang dari Arab. Dan di sela-sela aktifitasnya berdagang itulah Ahmad Dahlan
sering memberikan pengajian dan pengajaran kepada masyarakat.
Layaknya
seorang kyai, Ahmad Dahlan pun menikahi lebih dari seorang istri. Istri
pertamanya, yaitu Siti Walidah, masih sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad
Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro,
Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
KH.
Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari tahun 1923 dan
dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.
B. Karya-karya
Disamping
aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia
juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu
merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai
seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair,
Budi Utomo,
Syarikat Islam
dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada
tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan
ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. la
ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an
dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November
1912. Dan sejak awal
Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi,
dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama
Islam di sekolah OSVIA
Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi.
Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada
tanggal 20 Desember
1912, Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan
itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta
dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah
Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari
itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
seperti Srandakan,
Wonosari,
Imogiri
dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan,
Al-Munir
di Ujung Pandang,
Ahmadiyah
di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai
seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali
pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah
AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas
jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
D. Pemikiran Pendidikan KH.Ahmad
Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Pendidikan Islam yang dalam hal ini diwakili oleh
pondok pesantren telah tersebar sebelum kedatangan penjajah kolonial Belanda ke
Indonesia. Ia merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah dan tinggi.
Pendidikan Islam untuk tingkat permulaan diberikan di masjid, langgar, musallah
atau surau. Santri diberi kebebasan memilih bidang studi dari guru yang
diingininya. Ada santri senior yang diberi wewenang untuk mengajar. sorogan dan
bandongan atau weton. Di pondok pesantren tidak ada sistem kelas, tidak ada
ujian atau pengontrolan (evaluasi proses belajar) kemajuan santri dan tidak ada
batas lamanya belajar [kelas]. Penekanannya pada kemampuan menghafal saja,
tidak merangsang santri untuk berdiskusi dengan sesama santri. Cabang-cabang
ilmu yang dipelajari terbatas pada ilmu-ilmu agama Islam yang meliputi hadits,
musthalah hadits, fikih sunnah/ushul fikih, ilmu tauhid, ilmu tasauf, ilmu
mantik, ilmu falaq dan bahasa Arab.
Kyai Ahmad Dahlan, melihat kondisi sosial pendidikan
umat Islam pada waktu itu, tergerak untuk melakukan aktivitas yang menerapkan
sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal usahanya, Kyai
Ahmad Dahlan melakukan penangkalan kultural (budaya) atas penetrasi pengaruh
kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban dan keagamaan, utamanya adalah
intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan misi zending dari Barat.
Usaha-usaha pembaharuan Islam bidang pendidikan yang
dilakukan Kyai Ahmad Dahlan dan para pemimpin persyarikatan Muhammadiyah
meliputi dua segi yaitu segi cita-cita dan tehnik pendidikan dan pengajaran.
Kyai Ahmad Dahlan dianggap sebagai tokoh pembaharuan
Islam yang cukup unik,dan dikagumi karena usaha pembaharuan Islamnya merupakan
upaya terobosan-terobosan terhadap masalah-masalah umat yang mendesak untuk
diatasi. Ia juga tidak memiliki background pendidikan Barat, tetapi gagasannya
yang maju membuka lebar-lebar pintu ijtihad, (kesungguhan perubahan dalam
Islam) dan melarang pengikutnya bertaklid, (mengikuti tanpa mengetahui alasan
dalilnya yang tepat). Format pembaharuan dalam Islam persyarikatan Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan Islam, tercermin dan dapat dilihat dari ide-ide dasar
yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan, seperti yang dituturkan
pendirinya yaitu konsepsi kyai intelek dan intelek kyai.
Usaha modernisasi dan pembaharuan dalam bidang
pendidikan Islam yang dilakukan persyarikatan Muhammadiyah pada awal kelahiran
organisasi ini, nampak dari pengembangan kurikulum melalui dua jalan yaitu :
- Mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana ilmu agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama.
- Memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah sakolah umum yang sekuler.20 Usaha yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan memperbaharui sistem pendidikan Islam dan kurikulum mata pelajaran seorang aktifis Muhammadiyah Rader Sasrosugondo menceriterakan yang dimuat dalam majalah Adil No. 51 tahun 1936 sebagai berikut :
“ Sepanjang penganggapannya para
santri di Kauman, dan di pondok lainnya, pada ketika itu, bahwa anak atau orang
yang pernah bersekolah itu sudah tidak Islam lagi, bahkan dianggap sudah
memasuki agama Nasrani. Oleh karena itu para santri ataupun haji tidak bisa leluasa
perhubungannya dengan priyayi-priyayi tersebut. Para santri sama merendahkan
priyayi-priyayi di dalam hati. Sebaiknya para priyayi-priyayi berganti sama
merendahkan pada dirinya santri-santri, sebabnya mereka itu dianggap rendah
pengetahuannya tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya soal berhitung,
ilmu bumi, sejarah, ilmu alam,ilmu ukur dan lain sebagainya. Mereka mengira
bahwa bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka. Lebih-lebih
priyayi-priyayi itu perasaannya sudah memegang ilmu sesungguhnya. Mengerti
tentang seluk beluknya hidup mengerti tentang yang dinamai Allah yang sejati
dari sebab ajarannya guru yang disebut guru kasampurna, mengajar ilmu tua”.
Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia
pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi
dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam
dunia pendidikan, setidaknya ada poin poin penting dalam konsep pemikiran
pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan:
1) Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan
yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep
dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun
horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas
penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah
fil ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai
ruh dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang
dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan
dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta
didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis
dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun
horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat,
Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an
juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi,
yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi
tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad.
2) Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim
dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan
dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan
pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang saleh dan mendalami
ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan
sekular yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme
pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang
menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda
yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai
ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi
Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan
dunia-akhirat) merupakan hal yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran
agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
3) Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
4) Model Mengajar
Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak
menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran
agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus
diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren
menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem
klasikal seperti sekolah Belanda.
Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
5) Ijtihad Sistem Pengajaran
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan
hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga
pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat
bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena
ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri
pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam
madzhab Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang
tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang
diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban
kekinian.
Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas,
sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan
kerangka ideal yang demikian, menurut Ahmad Dahlan disebut sebagai proses
ijtihad, yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu
konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan
salah satu bentuk artikulasi tajdid (modernisasi) yang strategis dalam memahami
ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah secara proporsional.
E. Kesimpulan
Tujuan Pendidikan Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan
islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk
mnciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak
diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua
kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak
menguasai ilmu agama. Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat
bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh
menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan
akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum,
material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
Materi pendidikan Berangkat dari tujuan pendidikan
tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan
hendaknya meliputi:
a) Pendidikan
moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b) Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c) Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
Model Mengajar Di dalam menyampaikan pelajaran agama
KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual.
Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara
kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. & Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan
pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.Hubungan guru-murid.
Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai
memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah
mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: K.H. Ahmad Dahlan
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai K.H. Ahmad Dahlan bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: K.H. Ahmad Dahlan
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai K.H. Ahmad Dahlan bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
No comments:
Post a Comment