A.
Hadist Tentang Akhlak
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الاَخْلَاقِ : قال النبي ص م
“Sesungguhnya aku
diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak yang mulia”.
إِنَّمَابُعِثْتُ
لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya
aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
B.
Akhlak dan Pendidikan Akhlak
Akhlak
adalah ajaran Islam yang paling dasar. Meski dalam kenyataannya ajaran dasar
ini menjadi kabur atau dikaburkan, sehingga sulit membedakan mana orang yang
berakhlak dan mana yang sebenarnya merusak akhlak. Jika menengok kepada ajaran
Islam dan kita mulai dari yang paling awal atau yang paling sederhana, kita
akan dapati bahwa akhlak merupakan kepribadian Rasulullah saw dan menjadi sifat
dari ajaran Islam yang dibawanya. Maka simaklah hadits Rasulillah saw:
“sesungguhnya aku diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak
yang mulia”.
Hadits
di atas menunjukkan bahwa tugas dan misi kerasulan adalah menyempurnakan
akhlak. Artinya akhlak memang menjadi risalah diutusnya Nabi Muhammad saw,
selaku khotamul anbiya’ wal mursalin; penutup para nabi dan rasul.
Menyempurnakan akhlak, tentu saja merupakan tugas berat. Tetapi sebagaimana
terlihat dalam sejarah Islam, Nabi saw ternyata bisa sukses, yakni dengan
disempurnakannya agama ini. Keberhasilan tugas ini, jelas karena diri pribadi
Nabi memang terdapat akhlak yang luhur dan karenanya dalam berdakwah beliau
selalu menjunjung tinggi akhlak yang mulia.
Secara
sederhana bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik, saktidaknya harus
mengandung dua hal; pertama harus baik tujuannya, dan kedua harus baik
prosesnya. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik/tidaknya akhlak seseorang.
(sekali lagi: baik tujuan dan baik pula prosesnya).
Ketidaktahuan
atau kekaburan terhadap dua hal ini, menyebabkan kita menjadi salah dalam
memahami apa maksud dengan akhlak ini. Misalnya: kepingin menyantuni anak
yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan
pada masjid atau madrasah, semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi
jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang
lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll, tentu semua ini tidak bisa disebet
perbuatan yang baik/ berakhlak.
Ini
adalah sebuah contoh dari suatu perbuatan yang tujuannya baik, tetapi cara atau
prosesnya salah. Sekali lagi, yang demikian ini, tidak bisa disebut perbuatan
yang berakhlak. Contoh yang lain, misalnya: orang yang selalu giat bekerja,
selalu jujur, tidak pernah mencuri, tetapi jika tujuan bekerja ini–ternyata-
jelek, misalnya: untuk pesta miras, pesta narkoba dll, jelas semua ini juga
salah dan tidak bisa disebut berakhlak.
Begitulah,
tujuan dan proses, keduanya menjadi kriteria akhlak kita, sekaligus sebagai
ukuran kualitas usaha kita.
Sebagaimana
Nabi telah menjelaskannya:
اِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
amal itu dengan niat, dan bagi setiap amal manusia tergantung pada apa yang
diniatkan.”
Berdasarkan
hadits ini, menata tujuan sebelum berbuat merupakan hal yang penting. Karena
kualitas amal-usaha kita sangat tergantung dengan apa yang kita niatkan atau
tergantung dengan tujuan kita. Dengan kata lain, tujuan merupakan ukuran
berakhlak atau tidaknya seseorang, malah menjadi ukuran diterima atau/tidak
amal kita. Mengerjakan shalat misalnya, membayar zakat atau pergi haji, jelas
ini baik, tetapi jika dikerjakan dengan tujuan pamer, kepingin dipuji orang,
hal ini namanya riya’ dan riya’ termasuk perbuatan syirik, meski namanya syirik
khofi. Maka dari itu perbuatan yang demikian ini, tidak hanya jelek menurut
manusia, tetapi juga menjadikan amal kita tidak diterima, malah menjadi
berdosa. Na’udzubillah.
Sebagaimana
telah kita sampaikan di atas, bahwa tujuan baik saja, masih belum cukup, tetapi
juga harus melalui proses dan cara-cara yang baik juga. Karena kualitas amal
kita juga sangat tergantung dengan prosesnya.
Firman
Allah:
وَاَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى
“Tidaklah
bagi manusia itu kecuali apa yang diuasahakan…”
لِلرِّجَالِ
نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
“Bagi
orang laki-laki ada bagian dari apa yangdisahakan, begitu pula perempuan”
Ayat
ini menunjukkan bahwa antara orang yang menggunakan cara-cara yang halal,
dengan orang yang menggunakan cara-cara yang haram, hasilnya tentu berbeda .
demikian juga cara-cara yang sportif dan jujur, tentu tidak sama dengan
perbuatan yang penuh dengan tipu muslihat.
Selaku
umat Islam, pemahaman akhlak seperti ini sudah tentu penting sekali dan harus
kita perhatikan, lebih-lebih pada waktu, di mana persoadan: mana yang benar dan
mana yang salah, telah kabur atau dikaburkan, seperti sekarang ini. Maling
berteriak maling, orang yang biasa korupsi malah bicara paling keras, akan
berantas korupsi, kadang-kadang malah sering memberi bantuan ke pesantren dan
madrasah. Pada zaman seperti ini, kita terkadang kesulitan membedakan mana
orang yang berakhlak dan mana orang yang sejatos merusak akhlak. Jika memang
demikian keadaannya, berarti kita sekaranghidup di tengah-tengah bangsa yang
jauh dari akhlak. Peraturan dan UU dibuat, tidak untuk dijalankan, tetapi untuk
disiasati, dll.
Kerusakan
akhlak atau krisis akhlak, memang sudah sedemikian parah di negri ini. Inilah
yang menjadi keprihatinan para kiyai, para ulama, para guru, dan para orang
tua. Maka dari itu, sekali lagi, selaku umat Islam, dengan ukuran akhlak,
insyaAllah kita tidak akan kena tipu hanya dengan iming-iming. Dengan ukuran
akhlak, kita juga tidak akan bisa dipaksa-paksa, meski dalam keadaan terjepit.
Bagi kita, sudah jelas bahwa akhlak menuntut adanya sikap/perbuatan yang baik,
dalam hal ini, tujuan dan prosesnya. Tujuan baik harus diwujudkan dengan
cara-cara yang baik, begitu juga cara-cara yang baik harus dengan tujuan yang
baik.
Secara sederhana bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik,
saktidaknya harus mengandung dua hal; pertama harus baik tujuannya, dan kedua
harus baik prosesnya. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik/tidaknya akhlak
seseorang. (sekali lagi: baik tujuan dan baik pula prosesnya).
Ketidaktahuan atau kekaburan terhadap dua hal ini,
menyebabkan kita menjadi salah dalam memahami apa maksud dengan akhlak ini.
Misalnya: kepingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi
nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah, semua ini jelas
merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan
cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll,
tentu semua ini tidak bisa disebet perbuatan yang baik/ berakhlak.
Demikian, mudah-mudahan dapat mengajak kita semua untuk
berusaha mensucikan diri dengan melaksanakan seluruh akhlak
yang mulia dalam kehidupan dan perilaku kita, sehingga menjadi hamba Allah yang
bertakwa.
DAFTAR PUSTAKA
kitab
Silsilah Ahadits Shahihah karya Syaikh Al Albani 1/112 no.45 dan Manhaj
Al Anbiya Fi Tazkiyatin Nufus karya Syaikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy hal
22-23 serta At Tamhiid karya Ibnu Abdil Barr 24/333-335.
Makarimul
Akhlak Fi Dhu’I Al Qur’an wa Sunnah Shahihah Al Muthaharah karya Syaikh
Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy hal 8.
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: Pendidikan Akhlak
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Pendidikan Akhlak bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: Pendidikan Akhlak
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Pendidikan Akhlak bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
No comments:
Post a Comment