Nov 12, 2015

Pendidikan Akhlak



A.    Hadist Tentang Akhlak
إِنَّمَا بُعِثْتُ لاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الاَخْلَاقِ : قال النبي ص م
“Sesungguhnya aku diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak yang mulia”.

 إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

 

B.     Akhlak dan Pendidikan Akhlak
Akhlak adalah ajaran Islam yang paling dasar. Meski dalam kenyataannya ajaran dasar ini menjadi kabur atau dikaburkan, sehingga sulit membedakan mana orang yang berakhlak dan mana yang sebenarnya merusak akhlak. Jika menengok kepada ajaran Islam dan kita mulai dari yang paling awal atau yang paling sederhana, kita akan dapati bahwa akhlak merupakan kepribadian Rasulullah saw dan menjadi sifat dari ajaran Islam yang dibawanya. Maka simaklah hadits Rasulillah saw: “sesungguhnya aku diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Hadits di atas menunjukkan bahwa tugas dan misi kerasulan adalah menyempurnakan akhlak. Artinya akhlak memang menjadi risalah diutusnya Nabi Muhammad saw, selaku khotamul anbiya’ wal mursalin; penutup para nabi dan rasul. Menyempurnakan akhlak, tentu saja merupakan tugas berat. Tetapi sebagaimana terlihat dalam sejarah Islam, Nabi saw ternyata bisa sukses, yakni dengan disempurnakannya agama ini. Keberhasilan tugas ini, jelas karena diri pribadi Nabi memang terdapat akhlak yang luhur dan karenanya dalam berdakwah beliau selalu menjunjung tinggi akhlak yang mulia.
Secara sederhana bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik, saktidaknya harus mengandung dua hal; pertama harus baik tujuannya, dan kedua harus baik prosesnya. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik/tidaknya akhlak seseorang. (sekali lagi: baik tujuan dan baik pula prosesnya).
Ketidaktahuan atau kekaburan terhadap dua hal ini, menyebabkan kita menjadi salah dalam memahami apa maksud dengan akhlak ini. Misalnya: kepingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah, semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll, tentu semua ini tidak bisa disebet perbuatan yang baik/ berakhlak.
Ini adalah sebuah contoh dari suatu perbuatan yang tujuannya baik, tetapi cara atau prosesnya salah. Sekali lagi, yang demikian ini, tidak bisa disebut perbuatan yang berakhlak. Contoh yang lain, misalnya: orang yang selalu giat bekerja, selalu jujur, tidak pernah mencuri, tetapi jika tujuan bekerja ini–ternyata- jelek, misalnya: untuk pesta miras, pesta narkoba dll, jelas semua ini juga salah dan tidak bisa disebut berakhlak.
Begitulah, tujuan dan proses, keduanya menjadi kriteria akhlak kita, sekaligus sebagai ukuran kualitas usaha kita.
Sebagaimana Nabi telah menjelaskannya:
اِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan bagi setiap amal manusia tergantung pada apa yang diniatkan.”
Berdasarkan hadits ini, menata tujuan sebelum berbuat merupakan hal yang penting. Karena kualitas amal-usaha kita sangat tergantung dengan apa yang kita niatkan atau tergantung dengan tujuan kita. Dengan kata lain, tujuan merupakan ukuran berakhlak atau tidaknya seseorang, malah menjadi ukuran diterima atau/tidak amal kita. Mengerjakan shalat misalnya, membayar zakat atau pergi haji, jelas ini baik, tetapi jika dikerjakan dengan tujuan pamer, kepingin dipuji orang, hal ini namanya riya’ dan riya’ termasuk perbuatan syirik, meski namanya syirik khofi. Maka dari itu perbuatan yang demikian ini, tidak hanya jelek menurut manusia, tetapi juga menjadikan amal kita tidak diterima, malah menjadi berdosa. Na’udzubillah.
Sebagaimana telah kita sampaikan di atas, bahwa tujuan baik saja, masih belum cukup, tetapi juga harus melalui proses dan cara-cara yang baik juga. Karena kualitas amal kita juga sangat tergantung dengan prosesnya.
Firman Allah:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى
“Tidaklah bagi manusia itu kecuali apa yang diuasahakan…”
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
“Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yangdisahakan, begitu pula perempuan”
Ayat ini menunjukkan bahwa antara orang yang menggunakan cara-cara yang halal, dengan orang yang menggunakan cara-cara yang haram, hasilnya tentu berbeda . demikian juga cara-cara yang sportif dan jujur, tentu tidak sama dengan perbuatan yang penuh dengan tipu muslihat.
Selaku umat Islam, pemahaman akhlak seperti ini sudah tentu penting sekali dan harus kita perhatikan, lebih-lebih pada waktu, di mana persoadan: mana yang benar dan mana yang salah, telah kabur atau dikaburkan, seperti sekarang ini. Maling berteriak maling, orang yang biasa korupsi malah bicara paling keras, akan berantas korupsi, kadang-kadang malah sering memberi bantuan ke pesantren dan madrasah. Pada zaman seperti ini, kita terkadang kesulitan membedakan mana orang yang berakhlak dan mana orang yang sejatos merusak akhlak. Jika memang demikian keadaannya, berarti kita sekaranghidup di tengah-tengah bangsa yang jauh dari akhlak. Peraturan dan UU dibuat, tidak untuk dijalankan, tetapi untuk disiasati, dll.
Kerusakan akhlak atau krisis akhlak, memang sudah sedemikian parah di negri ini. Inilah yang menjadi keprihatinan para kiyai, para ulama, para guru, dan para orang tua. Maka dari itu, sekali lagi, selaku umat Islam, dengan ukuran akhlak, insyaAllah kita tidak akan kena tipu hanya dengan iming-iming. Dengan ukuran akhlak, kita juga tidak akan bisa dipaksa-paksa, meski dalam keadaan terjepit. Bagi kita, sudah jelas bahwa akhlak menuntut adanya sikap/perbuatan yang baik, dalam hal ini, tujuan dan prosesnya. Tujuan baik harus diwujudkan dengan cara-cara yang baik, begitu juga cara-cara yang baik harus dengan tujuan yang baik.

C.  KESIMPULAN
Secara sederhana bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik, saktidaknya harus mengandung dua hal; pertama harus baik tujuannya, dan kedua harus baik prosesnya. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik/tidaknya akhlak seseorang. (sekali lagi: baik tujuan dan baik pula prosesnya).
Ketidaktahuan atau kekaburan terhadap dua hal ini, menyebabkan kita menjadi salah dalam memahami apa maksud dengan akhlak ini. Misalnya: kepingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah, semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll, tentu semua ini tidak bisa disebet perbuatan yang baik/ berakhlak.
Demikian, mudah-mudahan dapat mengajak kita semua untuk berusaha mensucikan diri dengan melaksanakan seluruh akhlak yang mulia dalam kehidupan dan perilaku kita, sehingga menjadi hamba Allah yang bertakwa.

 

 



DAFTAR PUSTAKA


kitab Silsilah Ahadits Shahihah karya Syaikh Al Albani 1/112 no.45 dan Manhaj Al Anbiya Fi Tazkiyatin Nufus karya Syaikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy hal 22-23 serta At Tamhiid karya Ibnu Abdil Barr 24/333-335.
Makarimul Akhlak Fi Dhu’I Al Qur’an wa Sunnah Shahihah Al Muthaharah karya Syaikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy hal 8.

Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: Pendidikan Akhlak
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Pendidikan Akhlak bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.

No comments:

Post a Comment