Nov 21, 2015

ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM

A.    Pengertian Asuransi
Menurut pasal 246 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, dan tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
Asuransi pada umumnya termasuk asuransi jiwa menurut pandangan islam adalah termasuk masalah ijthadiyah, artinya masalah yang perlu dikaji hukum agamanya berhubungan tidak adanya penjelasan hukumnya didalam Al Qur’an dan hadits secara emplisit.

B.     Hukum Asuransi
Mengkaji hukum asuransi menurut syar’iat islam sudah tentu dilakukan dengan menggunakan metode-metode ijtihad yang lazim digunakan oleh para ulama Ijtihad dahulu. Dan diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan didalam meng-istimbath-kan hukum tehadap masalah-masalah baru yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits adalah maslahah mursalah atau istilah dan qiyas, untuk dapat memakai maslahah mursalah dan qiyas sebagai landasan hukum (dalil syar’i) harus memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya maslahah mursalah baru bisa dipakai sebagai landasan hukum jika:
1.      Kemaslahatannya benar-benar nyata, tidak hanya asumtif atau hipotesis saja.
2.  Kemaslahatannya harus bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan atau kebaikan perorangan.
3.      Tidak bertentangan dengan nash Al Qur’an dan Hadits.
Demikian pula pemakaian qiyas sebagai landasan hukum harus memenuhi syarat dan rukunnya. Diataranya yang paling penting adalah adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum). Antara masalah baru yang sedang dicari hukumnya dengan masalah pokok yang sudah ditetapkan hukumnya.
Dikalangan ulama cendikiawan muslim ada empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
1.      Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa.
2.      Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
3.    Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial.
4.      Menganggap shubhat.

Alasan-alasan mereka yang mengharamkan asuransi antara lain:
1.      Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi.
2.      Mendukung unsur tidak jelas dan tidak pasti.
3.      Mengandung unsur riba.
4.      Asuransi termasuk akad syarti, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang dengan tidak tunai.
5.      Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan yang Maha Kuasa.

Alasan-alsan mereka yang membolehkan asuransi jiwa antara lain:
1.      Tidak ada nash Al Qur’an dan Hadits yang melarang asuransi.
2.      Ada kesepakatan atau kerelaan dari kedua belah pihak.
3.      Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4.      Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerjasama antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing atau (PLS).
5.      Asuransi termasuk koperasi.

Alasan membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat yang pertama.
Adapun alasan yang menganggap asuransi shubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan shubhat, maka konsekuensinya adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency), hajat atau kebutuhan.
 
C.    Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi antara lain:
1.      Memberikan perlindungan terhadap diri seseorang atau keluarga dari ancaman hidup yang serius.
2.      Merupakan salah satu jalan menuju hidup sejahtera lahir dan batin.
3.      Menjamin atau menanggung kerugian orang yang mempertanggungkan apabila terjadi bahaya atau kecelakaan yang mungkin menimpa dirinya dan atau hartanya, misalnya kebakaran, kerusakan, kematian dan lain-lain.
Suatu pertanggungan (asuransi) harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan “Polis”. Setiap polis, kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa harus menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1.     Hari ditutupnya pertanggungan.
2.   Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau tanggungan orang ketiga.
3.     Dalam jumlah uang tanggungan untuk barang yang dipertanggungkan.
4.  Semua keadaan yang sekiranya penting bagi penanggung untuk diketahuinya. Dan segala syarat yang diperjanjikan antara kedua belah pihak.

D.    Sikap Ideal Seorang Muslim Terhadap Asuransi Jiwa
Seorang muslim harus bijaksana menghadapi masalah asuransi. Ia harus memilih salah satu dari pendapat-pendapat ulama tersebut diatas yang dipandangnya paling kuat dalil atau argumentasinya, baik pendapat yang dipilihnya itu ringan ataupun berat untuk dilaksanakan bagi dia sendiri. Ia harus meninggalkan pendapat yang dipandang masih meragukan. Namun ia harus bersikap toleran terhadap sesama muslim yang berbeda pendapatnya.
Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi dari Ibnu Umar
اختلاف امتى رحمة
Artinya” Perbedaan umatku itu rahmat”
Yang dimaksud dengan perbedaan umat menjadi rahmat adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama yang bersifat furu’iyah (cabang), bukan masalah ushuliyah (pokok-pokok ajaran islam).
Pendapat kedua yang membolehkan semua asuransi didalam prakteknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa, selain alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, dapat diperkuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.   Sesuai dengan asas dan prinsip hukum islam: meniadakan kesempitan dan kesukaran dan hidup bergotong-royong, sesuai dengan Firman Allah QS. Al Maidah ayat 2
Artinya : … dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...

namun mengingat kenyataan masih adanya berbagai pandangan mengenai asuransi jiwa dikalangan ulama cendekiawan muslim, maka sesuai dengan kaidah hukum islam.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar atau menghindari dari perbedaan pendapat itu disunnahkan.
2.   Asuransi tidak sama dengan judi karena asuransi bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa maslahah bagi keluarga, sedangkan judi justru menciptakan resiko, tidak sosial dan bisa membawa malapetaka bagi yang terkait dan keluaraga.

3.      Sebagai bentuk investasi/ tabungan. 
4.   Dapat digunakan untuk keperluan ahli warisnya, jika tertanggung meninggal dunia. QS. Annisa ayat 7 – 8 dan hadits Nabi riwayat Bukhori dan Muslim. Dari Said bin Abu Waqos
انك ان تذر ورثتك اغنياء خير من ان تذرهم عالة يتعففون الناس
Artinya : Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu, dalam keadaan kecukupan dan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.

5.      Asuransi sudah diperhitungkan secara mamematik untung dan ruginya, bagi perusahaan asuransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak (berdasarkan ilmu akultuariya).
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.

1 comment: