Menurut pasal 246 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian dimana penanggung mengikat
diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya
ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, dan tidak mendapat keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang
tidak pasti.
Asuransi pada umumnya termasuk asuransi jiwa menurut
pandangan islam adalah termasuk masalah ijthadiyah, artinya masalah yang perlu
dikaji hukum agamanya berhubungan tidak adanya penjelasan hukumnya didalam Al
Qur’an dan hadits secara emplisit.
B.
Hukum
Asuransi
Mengkaji hukum asuransi menurut syar’iat islam sudah tentu
dilakukan dengan menggunakan metode-metode ijtihad yang lazim digunakan oleh
para ulama Ijtihad dahulu. Dan diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak
peranan didalam meng-istimbath-kan hukum tehadap masalah-masalah baru yang
tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits adalah maslahah mursalah atau
istilah dan qiyas, untuk dapat memakai maslahah mursalah dan qiyas sebagai
landasan hukum (dalil syar’i) harus memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya
maslahah mursalah baru bisa dipakai sebagai landasan hukum jika:
1.
Kemaslahatannya benar-benar nyata,
tidak hanya asumtif atau hipotesis saja.
2. Kemaslahatannya harus bersifat umum,
tidak hanya untuk kepentingan atau kebaikan perorangan.
3.
Tidak bertentangan dengan nash Al
Qur’an dan Hadits.
Demikian pula pemakaian qiyas sebagai landasan hukum harus
memenuhi syarat dan rukunnya. Diataranya yang paling penting adalah adanya
persamaan illat hukumnya (motif hukum). Antara masalah baru yang sedang dicari
hukumnya dengan masalah pokok yang sudah ditetapkan hukumnya.
Dikalangan ulama cendikiawan muslim ada empat pendapat
tentang hukum asuransi, yaitu:
1.
Mengharamkan asuransi dalam segala
macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa.
2.
Membolehkan semua asuransi dalam
prakteknya sekarang ini.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat
sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial.
4.
Menganggap shubhat.
Alasan-alasan mereka yang mengharamkan asuransi antara lain:
1.
Asuransi pada hakikatnya sama atau
serupa dengan judi.
2.
Mendukung unsur tidak jelas dan
tidak pasti.
3.
Mengandung unsur riba.
4.
Asuransi termasuk akad syarti,
artinya jual beli atau tukar menukar mata uang dengan tidak tunai.
5.
Hidup dan mati manusia dijadikan
obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan yang Maha Kuasa.
Alasan-alsan
mereka yang membolehkan asuransi jiwa antara lain:
1.
Tidak ada nash Al Qur’an dan Hadits
yang melarang asuransi.
2.
Ada kesepakatan atau kerelaan dari
kedua belah pihak.
3.
Saling menguntungkan kedua belah
pihak.
4.
Asuransi termasuk akad mudharabah,
artinya akad kerjasama antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak
perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing
atau (PLS).
5.
Asuransi termasuk koperasi.
Alasan membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis
besarnya sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan yang mengharamkan
asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan
pendapat yang pertama.
Adapun alasan yang menganggap asuransi shubhat karena tidak
ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan
asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan shubhat, maka konsekuensinya
adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru
diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency),
hajat atau kebutuhan.
C.
Tujuan
Asuransi
Tujuan
asuransi antara lain:
1.
Memberikan perlindungan terhadap
diri seseorang atau keluarga dari ancaman hidup yang serius.
2.
Merupakan salah satu jalan menuju hidup
sejahtera lahir dan batin.
3.
Menjamin atau menanggung kerugian
orang yang mempertanggungkan apabila terjadi bahaya atau kecelakaan yang
mungkin menimpa dirinya dan atau hartanya, misalnya kebakaran, kerusakan,
kematian dan lain-lain.
Suatu pertanggungan (asuransi) harus dibuat secara tertulis
dalam suatu akte yang dinamakan “Polis”. Setiap polis, kecuali yang mengenai
suatu pertanggungan jiwa harus menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Hari ditutupnya pertanggungan.
2.
Nama orang yang menutup
pertanggungan atas tanggungan sendiri atau tanggungan orang ketiga.
3.
Dalam jumlah uang tanggungan untuk
barang yang dipertanggungkan.
4. Semua keadaan yang sekiranya penting
bagi penanggung untuk diketahuinya. Dan segala syarat yang diperjanjikan antara
kedua belah pihak.
D.
Sikap
Ideal Seorang Muslim Terhadap Asuransi Jiwa
Seorang muslim harus bijaksana menghadapi masalah asuransi.
Ia harus memilih salah satu dari pendapat-pendapat ulama tersebut diatas yang
dipandangnya paling kuat dalil atau argumentasinya, baik pendapat yang
dipilihnya itu ringan ataupun berat untuk dilaksanakan bagi dia sendiri. Ia
harus meninggalkan pendapat yang dipandang masih meragukan. Namun ia harus
bersikap toleran terhadap sesama muslim yang berbeda pendapatnya.
Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi dari Ibnu Umar
اختلاف امتى رحمة
Artinya”
Perbedaan umatku itu rahmat”
Yang
dimaksud dengan perbedaan umat menjadi rahmat adalah perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah agama yang bersifat furu’iyah (cabang), bukan masalah ushuliyah
(pokok-pokok ajaran islam).
Pendapat
kedua yang membolehkan semua asuransi didalam prakteknya sekarang ini termasuk
asuransi jiwa, selain alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, dapat
diperkuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan asas dan prinsip hukum
islam: meniadakan kesempitan dan kesukaran dan hidup bergotong-royong, sesuai
dengan Firman Allah QS. Al Maidah ayat 2
Artinya : … dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran...
namun
mengingat kenyataan masih adanya berbagai pandangan mengenai asuransi jiwa
dikalangan ulama cendekiawan muslim, maka sesuai dengan kaidah hukum islam.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar
atau menghindari dari perbedaan pendapat itu disunnahkan.
2.
Asuransi tidak sama dengan judi
karena asuransi bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa
maslahah bagi keluarga, sedangkan judi justru menciptakan resiko, tidak sosial
dan bisa membawa malapetaka bagi yang terkait dan keluaraga.
3.
Sebagai bentuk investasi/ tabungan.
4.
Dapat digunakan untuk keperluan ahli
warisnya, jika tertanggung meninggal dunia. QS. Annisa ayat 7 – 8 dan hadits Nabi riwayat Bukhori dan Muslim. Dari Said bin
Abu Waqos
انك ان تذر ورثتك اغنياء خير من ان
تذرهم عالة يتعففون الناس
Artinya : Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan
ahli warismu, dalam keadaan kecukupan dan daripada meninggalkan mereka menjadi
beban tanggungan orang banyak.
5.
Asuransi sudah diperhitungkan secara
mamematik untung dan ruginya, bagi perusahaan asuransi dan bagi para pemegang
polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak (berdasarkan
ilmu akultuariya).
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai ASURANSI JIWA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA ISLAM bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
izin copy y sob
ReplyDelete