A.
Pendahuluan
Imam
al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali mempunyai daya
ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul
Islam karena kemampuannya tersebut. Ia juga sanggup meninggalkan segala
kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan
hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10
tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas
seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem,
dan Mesir. Ia
terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah
mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu
tinggi.
Sejak
kecil dia telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan dia benci kepada sifat riya, megah, sombong,
takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara',
zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari
sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.
B.
Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn
Muhammad at Thusi Al- Ghazali yang dilahirkan pada 450 H/ 1058 M. Beliau
dilahirkan di kota di Khurasan, Persia yang ketika itu merupakan salah satu
pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Ayahnya adalah seorang pemintal wol yang
buta dan miskin, namun sangat memperhatikan masalah pendidikan anaknya.
Sejak kecil Imam Ghazali dikenal sebagai anak yang cinta
ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun
diterpa berbagai cobaan dan rintangan. Latar belakang pendidikannya dimulai
dengan belajar Al-Qur’an pada ayahnya sendiri dan belajar ilmu agama pada
seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi.
Beliau menamatkan studi dasarnya di Thus dan Jurjan, lalu
melanjutkan pendidikan di Naisabur (Nisappur), berguru pada seorang pemuka
agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain, yakni al- Juwaini.
Kepadanya al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, mazhab fiqh, retorika,
logika, tasawuf, dan filsafat.
Ketika al- Juwaini wafat, al- Ghazali merasakan kepedihan
yang amat mendalam. Beliau pun meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar. Disana
Imam Ghazali mulai dikenal mula-mula oleh Perdana Menteri Saljuk, dan
kemudian menjadi tersohor dan
diperlakukan penuh kehormatan oleh setiap orang di Mu’askar, karena beliau
sangat unggul dan tak terpatahkan argumentasinya dalam bidang keilmuan.
Pada tahun 484 H/ 1091 M, beliau diangkat menjadi dosen di
Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada
usianya yang ke-34 beliau diangkat menjadi rektor.
Setelah 4 tahun menjabat sebagai rektor, beliau meninggalkan
pekerjaannya sebagai pengajar dan memulai hidup jauh dari lingkungan manusia.
Ini dikarenakan krisis rohani yang melandanya, krisis keraguan yang meliputi
akidah dan semua jenis ma’rifat. Selama dua tahun beliau berzuhud, menghabiskan
waktunya dengan berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus.
Kemudian beliau melanjutkan perjalanan taqarrubnya ke Baitul Maqdis. Dari sini,
tergerak hatinya untuk mengerjakan ibadah haji.
Selama 10 tahun melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis
dan Hijaz, akhirnya pada tahun 499 H/ 1106 M Imam Ghazali kembali mengajar di
Universitas Nidhamiyah atas desakan Fakhrul Muluk. Buku Pertama yang disusunnya
setelah kembali ke universitas adalah Al-Murqidz
min Al- Dhalal.
Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun
500 H/ 1107 M, Imam Ghazali kembali ke kampung halamannya, Thus. Beliau
menghabiskan hari-harinya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar.
Beliau berpulang ke Hadhirat Allah pada tanggal 18 Desember 1111 M.
Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar
“Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang
Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Beliau merupakan sosok
intelektual multidimensi dengan
penguasaan ilmu multidisiplin. Abdurrahman Badawi menyebutkan karya Al-Ghazali
mencapai 457 judul buku yang meliputi
berbagai ilmu pengetahuan. Diantaranya dalam bidang fiqh dan ushul fiqh:
Al-Wajiz fi al-Furu’, Al-Mankhul fi ‘ilm
al-Ushul; bidang tafsir: Jawahir
Al-Qur’an, Yaqut al-Ta’wil fi Tasir al-Tanzil; bidang akidah: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad; bidang
tasawuf: Ihya ‘Ulumuddin, dan masih
banyak lagi karya lainnya.
C.
Karya-karya
Karya-karya Imam Al-Ghazali diantaranya :
Tasawuf
- Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal
- Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
- Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
Filsafat
·
Maqasid al-Falasifah
·
Tahafut al-Falasifah,
buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian
ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut
al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
Fiqih
·
Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Logika
·
Mi`yar al-Ilm
(The Standard Measure of Knowledge)
·
Al-Qistas al-Mustaqim
(The Just Balance)
·
Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
(The Touchstone of Proof in Logic)
·
Dan masih
banyak lagi.
D.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan Islam
1.
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan
Busyairi Madjidi mengungkapkan pendidikan menurut Al-Ghazali
adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan
demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara
sistematis untuk melahirkan perubahan perubahan yang progressive pada tingkah laku manusia.
Al-ghazali menitikberatkan pendidikan pada perilaku manusia
yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga di dalam melakukan suatu proses
diperlukan sesuatu yang dapat dijadikan mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada
batin manusia yang memiliki unsur yang harus diperbaiki secara keseluruhan,
yakni: kekuatan ilmu, kekuatan ghadhab
(kemarahan), kekuatan syahwat (keinginan), dan kekuatan keadilan. Dengan
terintegrasiya keempat unsur tersebut dalam diri manusia, maka diharapkan dapat
melahirkan keindahan watak manusia.
Abidin Ibnu Rusn merumuskan pengertian pendidikan menurut
Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiaannya sampai
akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk
pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung
jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga
menjadi manusia sempurna.
Menurut Al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan
tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah
memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui
pengajaran.
Menurut
al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua: tujuan jangka panjang
dan tujuan jangka pendek.
a. Tujuan jangka panjang
Tujuan
pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam
prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan
diri kepada Tuhan Pencipta alam. Disamping harus melaksanakan ibadah wajib dan
sunnah, manusia juga harus mengkaji ilmu-ilmu farlu ‘ain.
Tujuan
dalam pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai
Islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdsarkan ajaran
Islam secara bertahap. Maka tujuan jangka panjang pendidikan Islam sebagai
idealitas yang harus diwujudkan, menurut al-Ghazali adalah membentuk setiap
individu peserta didik untuk menjadi insan kamil dan berakhlak mulia agar setiap
individu tersebut mampu mengenal kapasitas dirinya sebagai makhluk, sehingga ia
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Ghazali
sangat menghargai kehidupan akhirat dan dunia sekaligus. Ruang lingkup
pendidikan yang diharapkan menurut al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas
bagi kehidupan dunia dan kehidupan akhirat semata-mata. Akan tetapi mencakup
kebahagian dunia dan akhirat.
b. Tujuan jangka pendek
Menurut
al-Ghazali, tujuan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan
bakat dan kemampuannya. Tujuan jangka pendek yang dimaksudkan adalah
mempersiapkan peserta didik supaya mampu melaksanakan tugas-tugas mulia di
dunia sehingga mampu mengenyam kebahagiaan dalam kehidupannya di dunia.
Al-Ghazali menempatkan tujuan ini sebagai tujuan sekunder yang harus
direalisasikan. Karena, beliau berpendapat bahwa apapun yang ada di dunia
inibersifat sementara. Tujuan yang lebih tinggi yaitu mencapai kebahagiaan di
akhirat.
Jadi,
tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali dapat dirumuskan, yaitu:
1) Mendekatkan diri kepada Allah,
dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2) Menggali dan mengembangkan potensi
atau fitrah manusia.
3) Mewujudkan profesionalisasi manusia
untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4) Membentuk manusia yang berakhlak
mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5) Mengembangkan sifat-sifat manusia
yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Tujuan
pendidikan merupakan target yang ingin dicapai suatu proses pendidikan. Secara
eksplisit Al-Ghazali menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan,
pertama mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Kedua mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan
di dunia dan akhirat. Kebahagian akhirat merupakan sesuatu yang esensi bagi
manusia, karena memiliki nilai unversal, abadi dan dan lebih hakiki.
Menurut
pandangan Al-Ghazali, ilmu adalah amal yang paling utama, baik yang bersifat fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Pentingnya menuntut ilmu yang bersifat fardhu kifayah karena memiliki
keistimewaan dan kebaikan serta berkaitan dengan perkembangan zaman dan
tuntutan masyarakat tertentu. Namun Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu yang
bersifat fardhu ‘ain karena merupakan
jalan untuk mencapai kebahagian di akhirat yang abadi. Dengan kata lain,
pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu.
2.
Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di suatu lembaga pendidikan.
Kurikulum yang disusun oleh al-Ghazali sesuai dengan
pendapatnya mengenai tujuan pendidikan, yakni: mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Ghazali, mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur
kesempurnaan manusia, dan untuk kesana ada jembatan yang disebut ilmu
pengetahuan. Dari segi kekhususannya al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan
menjadi ilmu syar’iyyah dan ilmu ghair syar’iyyah. Lebih lanjut belaiu
menjelaskan sebagai berikut:
Ilmu
syr’iyyah dibagi menjadi empat macam:
1. Ilmu Ushul (ilmu pokok) diantaranya kitabullah, sunnah, ijma dan atsar
sahabat.
2. Ilmu Furu’ (diantaranya ilmu fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
3. Ilmu Muqaddimah (ilmu pengantar)
yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk mempelajari ilmu-ilmu ushul, seperti ilmu lughah (bahasa) dan ilmu nahwu (gramatikal).
4. Ilmu-ilmu Pelengkap, seperti yang
berkaitan dengan Al-Qur’an, misalnya ilmu makharijul
huruf wa alfazh dan qira’at al-Qur’an.
Ilmu
ghair syar’iyyah dibagi menjadi:
a. Ilmu-ilmu terpuji (mahmudah), yaitu ilmu yang dibutuhkan
dalam hidup dan kehidupan dan pergaulan umat manusia yang meliputi: pertanian,
perternakan, pembangunan, tata pemerintahan, pertukangan besi dan lain
sebagainya.
b. Ilmu yang diperbolehkan (mubahat) yaitu ilmu kebudayaan, seperti:
sejarah, puisi-puisi yang tidak mengandung unsur yang berarti dan tidak
merugikan.
c. Ilmu-ilmu tercela (mazmumah), yaitu ilmu pengetahuan yang
merugikan pemilik maupun orang lain, seperti ilmu hitam/sihir.
Menurut Al-Ghazali kurikulum
pendidikan harus disusun sesuai dengan pertumbuhan dan dan perkembangan psikis
murid. Ini dikarenakan tingkat pemahaman, daya tangkap, dan daya ingat terhadap
ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan tugas hidupnya, berbeda antara orang
yang satu dengan yang lain. Pelajaran harus disampaikan secara bertahap, dengan
memperhatikan teori, hukum dan periodesasi perkembangan anak.
Pentahapan dalam kurikulum yang
dirumuskan Al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
Jika dijabarkan, perkembangan usia
anak berdasarkan didaktis Rasulullah adalah sebagai berikut:
1) Usia 00 – 06 tahun, adalah masa
asuhan orang tua. Pendidikan pada usia ini bersifat informal, anak dibiasakan
agar melakukan amalan- amalan yang baik dengan memberikan contoh atau teladan.
Dengan kata lain, masa ini adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan).
2) Usia 06 – 09 tahun, adalah masa
dimulainya pendidikan anak secara formal. Pada masa ini anak telah mampu
menerima pengertian dari apa yang telah dibiasakan, anak juga mampu menerima
ganjaran dan hukuman.
3) Usia 09 – 13 tahun, adalah masa
pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian. Sebagai kelanjutan dari
pembiasaan terhadap yang baik dan pemberian pengertian tentang apa yang
dibiasakan, anak pada usia ini telah mampu membedakan antara yang baik dan yang
buruk, antara yang manfaat dan yang sia-sia, mana yang pantas dikerjakan dan
mana yang perlu dihindari. Pada tahap selanjutnya anak melaksanakan
amalan-amalan baik tidak karena terpaksa, tetapi karena ia mengetahui bahwa apa
yang dilakukannya itu bermanfa’at bagi dirinya atau sebaliknya.
4) Usia 13 – 16 tahun, adalah masa
evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan. Selama tiga tahun diadakan
evaluasi dan jika ditemukan kekurangan dalam pribadi anak maka anak perlu
diberi sangsi. Secara psikis, usia ini adalah masa remaja pertama. Inilah masa
transisi dari kanak- kanak memasuki masa remaja. Kegoncangan jiwa akan muncul
karena terjadi pertumbuhan cepat di segala bagian tubuh. Dengan memberikan
konsep Al-Ghazali di atas, kita akan menenangkan jiwa anak.
5) Usia anak 16 tahun dan seterusnya,
adalah pendidikan kedewasaan. Menurut Islam, anak usia ini telah dianggap
dewasa dan segala yang dilakukan sudah mempunyai nilai tersendiri di
hadapan Allah. Pendidikan pada periode
kelima ini, karena anak telah mengalami kedewasaan nafsu seksnya, yang banyak
membutuhkan penjagaan agar tidak terjadi ekses-ekses seksual yang merugikan, maka
orang tua wajib menikahkannya. Perhatian orang tua terhadap anak dalam usia
selanjutnya adalah tugas kemanusiaan dan bukan tugas kebutuhan. Artinya, kalau
anak tidak shalih, orang tua sudah tidak lagi dituntut dihadapan Allah.
Adapun periodesasi berdasarkan
psikologis dalam kaitannya dengan kurikulum pendidikan yang dikemukakan
Al-Ghazali adalah materi keilmuaan yang disampaikan kepada murid secara
berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, meyakini dan membenarkan
terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahua tanpa memerlukan dalil.
3.
Metode
Pengajaran
Pentahapan pada kurikulum pendidikan
diatas melahirkan metodik khusus pendidikan menurut Al-Ghazali, dan tampak
bahwa ia menekankan kepada pendidikan akhlak.
a. Metodik khusus pendidikan agama
Dasar
kurikulum pendidikan agama menurut Al-Ghazali adalah Al-Qur’an. Pada prinsipnya
metode ini dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan
keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang
menunjang penguatan akidah. Pendidikan agama pada kenyataannya lebih sulit
dibanding dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut masalah
perasaan dan lebih menitikberatkan pada pembentukan keribadian murid.
b. Metodik khusus pendidikan akhlak
Akhlak
menurut Al-Ghazali adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang kemudian
lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan
pertimbangan. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada
pembentukan akhlak yang mulia. Guru harus memiih metode pendidikan yang sesuai
dengan usia dan tabia’t anak, daya tangkap, dan daya tolaknya, sejalan dengan
situasi kepribadian. Untuk mengadakan perubahan akhlak anak yang tercela adalah
dengan menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya.
4.
Pendidik
dan Anak Didik
Al-Ghazali
mempergunakan istilah pendidikan dengan berbagai kata Al-Mu’allim (guru), al-Mudarris
(pengajar) dan al-Walid (orang tua).
Menurut al-Ghazali, guru (pendidik) adalah orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan dan menyucikan hati sehingga menjadi dekat dengan
khaliknya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk
yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya.
Menurut
Al-Ghazali, pendidik (guru) dalam pengertian akademik ialah seorang yang
menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu
institusi untuk menyampaikan ilmu
pengetahuan kepada para pelajarnya.
Berkaitan mengenai tugas dan
tanggung jawab guru profesional, Al-Ghazali menyebutkan beberapa hal berikut:
a) Guru ialah orang tua kedua di depan
murid
b) Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c) Guru sebagai penunjuk jalan dan
pembimbing keagamaan murid
d) Guru sebagai motivator bagi murid
e) Guru sebagai seorang yang memahami
tingkat perkembangan intelektual murid
f) Guru sebagai teladan bagi murid
Al-Ghazali
terhadap peserta didik (murid) mempergunakan istilah, seperti al-Shoby (kanak-kanak), al-Mu’allim (pelajar), dan Thalabul al-‘Ilm (penuntut ilmu
pengetahuan). Dengan demikian, yang dimaksud dengan peserta didik adalah
manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun
rohani.
Lebih lanjut
al-Ghazali menjelaskan bahwa peserta didik adalah makhluk yang telah dibekali
dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu
sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at
dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang
pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang
sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat
banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1. Mendahulukan
kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2. Mengurangi
hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya
terikat pada ilmu.
3. Tidak
bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru,
bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4. Menjaga diri
dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5. Tidak
mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui
hakikatnya.
6. Mencurahkan
perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7. Hendaklah
tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan
mengantarkannya kepada Allah SWT.
E.
Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad at Thusi Al- Ghazali lahir
pada 450 H/ 1058 M. Beliau dilahirkan di kota di Khurasan, Persia yang ketika
itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Ayahnya adalah
seorang pemintal wol yang buta dan miskin, namun sangat memperhatikan masalah
pendidikan anaknya.
Pada tahun 484 H/ 1091 M, beliau diangkat menjadi dosen di
Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada
usianya yang ke-34 beliau diangkat menjadi rektor.
Selama 10 tahun melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis
dan Hijaz, akhirnya pada tahun 499 H/ 1106 M Imam Ghazali kembali mengajar di
Universitas Nidhamiyah atas desakan Fakhrul Muluk. Buku Pertama yang disusunnya
setelah kembali ke universitas adalah Al-Murqidz
min Al- Dhalal.
Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun
500 H/ 1107 M, Imam Ghazali kembali ke kampung halamannya, Thus. Beliau
menghabiskan hari-harinya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar.
Beliau berpulang ke Hadhirat Allah pada tanggal 18 Desember 1111 M.
Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar
“Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang
Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Beliau merupakan sosok
intelektual multidimensi dengan
penguasaan ilmu multidisiplin. Abdurrahman Badawi menyebutkan karya Al-Ghazali
mencapai 457 judul buku yang meliputi
berbagai ilmu pengetahuan. Diantaranya dalam bidang fiqh dan ushul fiqh:
Al-Wajiz fi al-Furu’, Al-Mankhul fi ‘ilm
al-Ushul; bidang tafsir: Jawahir
Al-Qur’an, Yaqut al-Ta’wil fi Tasir al-Tanzil; bidang akidah: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad; bidang
tasawuf: Ihya ‘Ulumuddin, dan masih
banyak lagi karya lainnya.
Al-ghazali menitikberatkan pendidikan pada perilaku manusia
yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga di dalam melakukan suatu proses
diperlukan sesuatu yang dapat dijadikan mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada
batin manusia yang memiliki unsur yang harus diperbaiki secara keseluruhan,
yakni: kekuatan ilmu, kekuatan ghadhab
(kemarahan), kekuatan syahwat (keinginan), dan kekuatan keadilan. Dengan
terintegrasiya keempat unsur tersebut dalam diri manusia, maka diharapkan dapat
melahirkan keindahan watak manusia.
Menurut Al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan
tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah
memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui
pengajaran.
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: IMAM AL GHAZALI
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai IMAM AL GHAZALI bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: IMAM AL GHAZALI
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai IMAM AL GHAZALI bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
No comments:
Post a Comment