Nov 21, 2015

FILSAFAT DI KAWASAN TIMUR (IBNU MASKAWEH & IBNU SINA)



A.    Ibnu Maskaweh
            1.      Biografi dan Karya Ibnu Maskaweh
Nama lengkap Ibnu Maskaweh adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Maskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Maskaweh meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Maskaweh lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Maskaweh inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
 Ibnu Maskaweh meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).

            2.      Pemikiran dan Analisis
Ibnu Maskaweh menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Maskaweh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
a.       Metafisika
Menurut Ibnu Maskaweh Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Maskaweh menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan dengan Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu Maskaweh, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Diambilnya teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan ke-esaan Tuhan dari sifat banyak. Ibnu Maskaweh mengatakan, bilamana satu penyebab melahirkan sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya tergantung pada alasan-alasan di bawah ini:
a.      Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
b.   Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c.      Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Tak satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab utama, yaitu Tuhan. Tuhan tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacam-macam kekuatan yang berlainan. Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti manusia menciptakan kursi dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji, dan sebagainya, maka siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana itu diciptakan oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada pluralitas penyebab utama. Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu pastilah bahwa penyebab utama hanya menciptakan satu entitas yang darinya kemudian tercipta entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal aktif.
Ibnu Maskaweh juga mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan:
1.     Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah. Misal batu, air, tanah.
2.   Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3.   Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4.     Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
b.      Kenabian
Ibnu Maskaweh berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
c.       Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Maskaweh adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad Ibnu Maskaweh mengemukakan argumen-argumen sebagai berikut:
a.     Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b.    kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c.     mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d.     kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e.      jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f.     ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat kebajikan. Yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Keselarasan ketiga kebajikan tersebut akan menghasilkan kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada tujuh macam; tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat; murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih. Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
d.      Moral/Etika
Dalam bidang inilah Ibnu Maskaweh banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Maskaweh mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Maskaweh adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Maskaweh sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Ibnu Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Maskaweh berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Maskaweh memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Maskaweh tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Maskaweh juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
 e.       Sejarah
Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang.

B.     IBNU SINA
            1.      Biografi
Ibnu Sina dilahirkan pada masa kekacauan dimana Khilafah Abbasiyah menglami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada dibawah kekuasaan Khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu-persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri sebagai pusat pemerintah Khilafah Abbasiyah dikuasai oleh golongan Bani Muwai pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.
Ibnu Sina bernama lengkap Abu Ali Al-Husain Abdullah Bin Sina. Ibnu Sina lahir pada tahun 980 M/370 H. di Afsyana sebuah desa kecil dekat Bukharah, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia). Namun mengenai tahun kelahirnnya ini terjadi perbedaan dikalangan pakar.
Ayahnya, Abdullah adalah seorang gubernur Samanite yang kemudian ditugaskan di Bukharah. Ia adalah seorang sarjana terhormat Isma’iliyah, berasal Balkh Khorasan. Sedangkan ibunya adalah orang asli dimana Ibnu Sina dilahirkan. Yakni di Afsyanah.
Ibnu Sina yang lebih dikenal sebagai Aviciena oleh masyarakat barat adalah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman, seorang jenius yang mahir dalam berbagai cabang ilmu. Dialah pembuat ensiklopedi terkemuka dan pakar dalam bidang kedokteran, filsafat, logika, matematika, etika, astronomi, musik, dan puisi.
Ibnu Sina dididik di bawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; beliau menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (Child prodigy) yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun. Kecerdasaannya yang sangat tinggi membuatnya menonjol sehingga salah seorang gurunya menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun kedalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.

            2.      Pemikiran dan Analisis
a.      Karya-Karya
Ibnu Sina membuat banyak karya. Dan diantara karya-karyanya adalah:
1)    Al-Qonun fi Al-Thib diterjemahkan menjadi Canon Of  Medicne oleh orang barat yang menjadi rujukan utama ilmu pengobatan dalam dunia kedokteran sampai abad 19. Dan sudah dicetak berulangkali serta telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
2)    As-Syifa’ yang terdiri dari 15 jilid dengan devinisi konvensional metafisika sebagai studi tentang entitas-entitas yang bersifat in-materiil[9]
3)    Al-Isyarat dan beberapa risalah yang memperlihatkan “kecanggungan mistis” dalam dirinya
4)    Al-Najat terdiri dari 10 jilid yang dalam salah satu babnya Ibnu Sina mengkritik atas faham mutakallimin tentang butuhnya mahuk pada yang lain[11]
5)     Al-Hikmah terdiri dari 10 jilid
6)    Remedies for The Heart yang mengandungi sajak-sajak pengobatan. Dalam buku ini, ia telah menceritakan dan menguraikan 760 jenis penyakit bersama cara untuk mengobatinya
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karyanya yang lain yang juga membahas tentang kedokteran dan filsafat.
 b.      Pemikiran
Disini kami akan menguraikan sekilas tentang beberapa pemikran Ibnu Sina dalam dunia filsafat. Diantara pemikiran beliau adalah:
1)      Metafisika
Pemikiran metafisika Ibnu Sina bertitik tolak pada pandangan filsafatnya yang terbagi tiga jenis. Yaitu :
a)    Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiaannya, selain dirinya sediri yaitu Tuhan.
b) Berkehendak kepada yang lain, yaitu mahluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
c)    Mahluk mungkin, yaitu bisa ada bisa pula tidak ada, dan ia sendri tidak butuh kepada kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak berakal seperti air, batu, api dan lain-lain.
2)      Hukum Sebab Musabbab
Tuhan adalah sebab yang efesien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain Ibnu Sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab. Tuhan sebagai sebab, bertindak dalam alam yang bergerak terus menerus dalam wujudnya, yang adalah sebagai sebab diriny sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.
3)      Tuhan Maha Mengatur dan Maha Tahu
Devinisi tentang Tuhan yang Maha Tahu diterangkan Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Isyarat sebagai berikut: “Maha Tahu Adalah perwakilan dalam alam semesta, dalam pengetahuan abadi dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan Tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan yang berupa undang alam seperti tersebut di atas menyebabkan orang dapat melihat bagaimana Ibnu Sina menguraikan tentang sifat maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Tampaknya dala bentuk yang demikian itu, orang akan merasa psimis, dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Oleh karena itu ia menyempurnakan wujudnya.
4)      Akal
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal, yaitu: akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ketuhanan.
5)      Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menganut teori faidh (Emanasi). Bagi Ibnu Sina, Tuhan sebagai akal murni memancarkan akal pertama. Ta’aqqul akal pertama memancarkan akal kedua, falakul aqsha (langit terjauh) dan jiwa falaq tersebut selanjutnya ta’aqqul akal kedua memancarkan akal pertama, falakuts tsawabit dan jiwanya. Demikian ta’aqqul dari akal-akal itu secara berkesinambungan hingga sampai pada akal yang kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh yang disebut akal fa’al memancarlah segala yang ada di bawah bulan.
6)      Jiwa
Di dalam masalah kejiwaan, Ibnu Sina termasuk penganut paham dualisme (tsanawiyah). Bagi Ibnu Sina subtansi jiwa itu berlainan sama sekali dari materi tubuh meskipun dia berasal dari pokok yang sama. Yakni akal fa’al. Tetapi ia mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
7)      Teori Kenabian
Sebagaimana yang tertulis di atas, bahwa akal itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama ialah akal potensial. Kadang-kadang seorang manusia diberi kadar akal potensial yang besar sehingga dengan itu Ia dapat secara langsung berhubungan dengan akal fa’al tanpa melalui latihan-latihan
Akal yag mempunyai kemampuan demikian oleh Ibnu Sina disebut dengan akal kudus (roh suci)  yang merupakan taraf tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang. Bila taraf ini telah bisa dicapi oelh seseorang, terbukalah baginya ilmu rabbani.
Dalam filsafat, kehidupan Ibnu Sina mengalami dua periode penting. Pertama, adalah periode ketika Ibnu Sina mengikuti paham filsafat paripatetik. Pada perode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Kedua, adalah ketika Ibnu Sina menarik diri faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat Islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Ibnu Sina mengembangkan kosep logikanya kurang lebih semodel dengan komentar al-Farabi tentang Organon-nya Aristoteles. Filsafat Logikanya bisa ditemukan dalam kitabnya yang berjudul al-Najat dan dalam beberapa bagian penting karya yang lain yang berjudul al-Isharat. Dalam sebuah monograf ringkas tapi sangat penting yang berisi tentang ‘Klasifikasi Ilmu Pengetahuan”, Ibn Sina membagi pengetahuan logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda, yang berkaitan dengan delapan buku Aristoteles yang didahului oleh Isagoge-nya Prophyry,  salah satu buku yang sangat terkenal di Timur pada abad pertengahan.
Bagian pertama, berhubungan dengan Isagoge, adalah filsafat umum tentang bahasa yang berkaitan dengan pembicaraan dan elemen-elemen abstraknya. Kedua, berkaitan dengan ide-ide sederhana dan abstrak, yang dapat diterapkan pada semua hal, dan disebut oleh Aristoteles dengan kategori. Ketiga, berkaitan dengan kombinasi dari ide-ide sederhana tersebut untuk menyusun proposisi yang dinamakan Aristoteles dengan hermeneutika dan oleh filosof Muslim dengan al-ibarah atau al-tafsir. Keempat, mengkombnsikan proposisi  dalam bentuk-bentuk silogisme yang berbeda  dan merupakan bahasan pokok First Analytics Aristoteles, yaitu analogi (al-qiyas). Kelima, mendiskusikan berbagai hal yang harus dipenuhi oleh premis-premis yang darinya rangkaian reasoning dijalankan dan ini disebut dengan Second Analytics, yaitu pembuktian (al-burhan). Keenam, mempertimbangkan sifat dan batas-batasan penalaran yang mungkin, yang berkaitan dengan Topic-nya Aristoteles, yaitu perdebatan (al-jadl). Ketujuh, membicarakan kesalahan penalaran logis, intensional atau yang lain, dan ini disebut Sophisticii atau kesalahan-kesalahan (al-maghalit).  Kedelapan,  menjelaskan seni mempersuasi secara oratorikal dan ini disebut Rhetoric atau pidato (al-khatabah). Kesembilan, menjelaskan seni mengaduk jiwa dan imajinsi pendengar melalui kata-kata. Ia adalah puisi (al-shi’r) atau Poetics-nya Aristoteles yang dianggap filosof Muslim menjadi bagian dari Organon logisnya.
Logika digunakan Ibn Sina dalam pengertian yang luas. Logika silogistik dianggapnya hanya bagian darinya. Sekalipun Ibn Sina memberikan logika posisi yang sangat penting di antara ilmu-ilmu yang lain, dia pada saat yang sama juga mengakui batas-batasnya. Fungsinya, dia jelaskan sangat jelas, bisa juga digunakan untuk hal yang negatif. Tujuan utamanya adalah menyediakan bagi kita beberapa aturan yang akan mengarahkan kita agar tidak jatuh ke dalam kesalahan penalaran. Jadi, logika tidak menemukan kebenaran baru, tapi membantu kita untuk menggunakan kebenaran yang telah kita miliki tersebut dengan baik dan mencegah kita dari dari penggunaan yang salah atas kebenaran tersebut.
Penalaran, menurut Ibn Sina, berawal dari terma-terma khusus yang diterima dari luar. Ini merupakan data awal pengalaman atau prinsip-prnsip pertama pemahaman. Rangkaian deduksi dihasilkan dari pengetahuan, diturunkan dari pengetahuan yang mendahului, dan ini bukan tidak terbatas. Ia harus memiliki starting point yang menjadi pondasi dari keseluruhan struktur logika. Starting point ini tidak didirikan di dalam logika itu sendiri, tapi di luarnya.
Ini secara jelas mengindikasikan bahwa logika seperti itu semata-mata sistem formal, tidak terkait dengan kebenaran atau kesalahan. Isi kebenaran dari sistem tersebut tidak datang dari dalam, tapi dari luar, yaitu dari data pengalaman pertama.

C.    Kesimpulan
Ibnu Maskaweh lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Maskaweh inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak. Ibnu Maskaweh meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat. Dari beberapa pemaparan di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Sina banyak terpengaruh oleh pemikiran dari al-Farabi, juga pera filosof Yunani khusunya Aristoteles. Disamping beliau juga banyak memberikan pengaruh yang kuat pada filosof Islam juga pada para filosof Yunani sesudahnya.

D.    Referensi
Drs. Sudarsono, SH. Filsafat Islam, Rineka Cipta, Bandung. 1989
Fakhri , Majid. Sejarah Filsafat Islam, Mizan, Bandung. 2002
Hanafi Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, LKiS,  Jogjakarta. 1998
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
www.iptek.net.id
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: FILSAFAT DI KAWASAN TIMUR (IBNU MASKAWEH & IBNU SINA)
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai FILSAFAT DI KAWASAN TIMUR (IBNU MASKAWEH & IBNU SINA) bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.

No comments:

Post a Comment